Sabtu, 15 Oktober 2011

yang berjiwa nasionalisme, harap masuk

yang berjiwa nasionalisme, harap masuk:
Masalah besar indonesia yang senantiasa bergejolak dalam pikiran saya adalah mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Terus terang bangsa yang kita cintai bersama, bangsa besar indonesia, bangsa nomor empat terbesar penduduknya di muka bumi, agaknya sedang mengalami krisis jati diri atau identitas. banyak hal yang menggembirakan, tetapi banyak juga hal yang menyedihkan, bahkan menyakitkan.Kita dapat mengambil satu masalah penting, misalnya nasionalisme kita. Dalam kaitan ini kita boleh bangga melihat betapa bangsa kita, Ketika timnas kita berlaga di piala aff kemarin, stadion gelora bung karno seolah-olah mau runtuh. teriakan dan tepuk tangan membahana, di dalam dan di luar stadion, yang mendukung kesebelasan merah putih sulit di saingi oleh bangsa asia lainnya. Ruaar biasa. sebagian besar mata rakyat tertuju ke timnas kita. setiap kali tim merah putih menang, kita bangga bukan main, tetapi saat timnas kita kandas di final oleh malaysia, kita sedih berhari-hari Adakah yang salah bila kita memuja, bahkan mengidentifikasikan diri kita dengan tim merah putih ketika bertarung di gelanggang olahraga regional atau internasional? Sama sekali tidak ada yang salah. memang sudah seharusnya demikian. akan tetapimengapa nasionalisme olahraga kita seperti tidak ada kaitan sama sekali dengan nasinalisme ekonomi,politik,pertahanan-keamanan,pendidikan,bidang kehidupan,dll.Nasionalisme oalahraga adalah nasionalisme simbolik, karena bersifat kasat mata dan merupakan pajangan window show sebuah bangsa. bila bangsa kita diibaratkan sebuah rumah di pinggir jalan raya, olahraga itu bagaikan pagar depan yang langsung dilihat oleh setiap pengguna jalan raya,Nah, bangsa dan pemerintah kita seperti pemilik rumah di pinggir jalan raya itu yang punya obsesi aneh. Obsesi itu adalah bagaiman pagar rumah itu terlihat selalu bersih,mengkilat dan tidak boleh berdebu. adalah tampak muka rumah yang paling penting. yang lain masa bodoh. pokoknya penampilan. sehingga ketika perabotan rumah dicuri orang di depan mata si pemilik rumah, ia tak begitu peduli. mungkin hanya bisa tersenyum getir. bahkan ketika istri dan anaknya dibawa keluar oleh orang lain, si pemilik rumah tidak mengambil tindakan apa pun, ia hanya bisa menonton, seolah tidak ada sesuatu yang perlu dirisaukan.pokoknya pagar dan wajah depan rumah kelihatan bagus.itu yang penting.kira-kira kontradiksi dan ironi seperti itu yang sedang menimpa bangsa kita.Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang masih dangkal.kita bela merah putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik, namun ketika kekayaan alam kita di kuras dan di jarah oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi seperti perbankan dan industri dikuasai oleh asing. bahkan ketika kekuatan asing sudah dapat mendikte perundang-undangan serta keputusan politik, kita diam membisu, seolah kita sudah kehilangan harga dan martabat diri. padahal tanpa ada kesadaran nasional untuk menegakkan kemandirian dan kedaulatan nasional di bidang politik,ekonomi,dan pertahanan-keamanan, barangkali kita tidak perlulagi bermimpi dan berbicara tentang masa depan indonesia. tidak banyak gunanya kita berbicara tentang indonesia yang kuat secara militer dan politik,indonesia sejahtera adil dan makmur secara sosial dan ekonomi, indonesia yang maju dan canggih secara ilmu dan teknologi dan indonesia yang tangguh serta tahan banting secara mental dan spiritual. Suatu bangsa dan pemerintah yang sudah kehilangan kemandirian, tidak akan bisa lagi membedakan antara patron dan klien, antara majikan dan pelayan, dan antara tuan dan budak.Risalah ini mencoba mencoba membedah masalah mendasar bangsa, agar kita tidak terus-menerus terjebak dalam kesemrawutan mental dan seakan bingung tentang jati diri kita sendiri, jati diri sebagai bangsa yang yang bebas,merdeka,berdaulat,mandiri dan mampu menentukan nasib sendiri tanpa bergantung pada bangsa lain atau kekuatan asing. saya sadar bahwa usulan kritis dalam risalah ini oleh sebagian masyarakat, dianggap terlalu keras dan tajam, akan tetapi saya yakin, etika demokrasi justru mendorong pertukaran fikiran yang jujur, gamblang dan jelas agar hal-hal yang perlu dikoreksi dapat diangkat ke permukaan dan di pecahkan bersama. negara-negara otoriter, apalagi diktatorial, cenderung membasmi perbedaan pendapat, akibatnya jelas. ketika kerusakan moral,politik,ekonomi,sosial,hukum dll mulai terjadi, pemerintah negara otoriter/ diktatorial tidak pernah membuka kritik atau koreksi. Rakyat dididik untuk melantunkan keroncong harmoni. harmoni yang membawa bangsa ke tragedi. Di indonesia cara menutupi kritik atau koreksi publik dilakukan lewat himbauan yang terdengar santun dan seolah bertanggung jawab.Menyangkut masa depan bangsa, kita tidak perlu takut menggelar pertukaran pikiran secara lugas dan tajam. yang kita pertaruhkan adalah masa depan generasi muda kita yang rata-rata mulai pesimis melihat masa depan. bila pesimisme itu sampai berubah menjadi apatisme, masih bisakah kita melihat masa depan kita dengan kepala tegak dan yakin diri?



semoga bermanfaat :iloveindonesias:iloveindonesias:iloveindonesias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar